Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 sudah melaksanakan 10 kali pemilihan umum legislatif (pileg). Masyarakat hampir tiap tahun mengalami pemilu, pemilukada dan bahkan pilkades. Penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Fakta dalam setiap pelaksanaan pemilu masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu ada dan cenderung meningkat dari setiap pelaksanaan pemilu. Perilaku tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput.
Kata
golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah
tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.
Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955,
akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu.
Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Golput
tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif. Dalam perhelatan politik di
tingkat lokal seperti pemilihan umum
kepala daerah (pemilukada) gejala golput juga terjadi.
Istilah
golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan
bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak
(Fadillah Putra ;2003 ; 104).
Golput
menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya
merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan
bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem
kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan
pemilu.
Mengenai
golput alm. K.H. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa
di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa
(Abdurrahman Wahid, dkk, 2009; 1). Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit
dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara
penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai
peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di
luar kontrolnya.
Kaum
golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan :
Pertama,
menusuk lebih dari satu gambar partai.
Kedua
, menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga,
tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak
pilih.
Bagi
mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam
kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan
menekankan kaitan Sumber penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak
hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi
Sanit ; 1992)
Jadi
berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan
suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara
(TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari
pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput.
Begitu
pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar
memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian
kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai
kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya
pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Eep
Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
Pertama,
golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti
keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat
pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan
tidak sah.
Kedua,
golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih
karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu).
Ketiga,
golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa perubahan
dan perbaikan.
Keempat,
golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi
(liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme
agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).
Sedangkan
menurut Novel Ali (1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput
Pertama,
adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya
bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan
sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis,
melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
Kedua,
adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak
puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan
adanya satu organisasi politik lain yang belum ada. dan berbagai
alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi
dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis
politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada
tingkat evaluasi.
Angka
masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus
meningkat. Harus ada upaya yang maksimal untuk meminimalisir meningkatnya angka
masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak
langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat
dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.